Upacara Nyadar
Lokasi : Dusun Kolla, Desa Kebun Dadap Barat, Kecamatan Saronggi
Jadwal : Juli (Nyadar Pertama), Agustus (Nyadar Kedua), September (Nyadar Ketiga)
Daftar Isi: Sejarah l Persiapan l Prosesi
Upacara nyadar merupakan upacara tradisional yang bersifat ritual yang dilaksanakan setiap tahun secara bersama-sama oleh masyarakat Pinggir Papas (kecamatan Kalianget) dan desa Kebun Dadap (kecamatan Saronggi, kabupaten Sumenep). Upacara nyadar ini pada dasarnya adalah “nyekar” yang artinya mengunjungi makam-makam leluhur yang letaknya di desa Kebun Dadap. Nyadar dilakukan di sekitar komplek makam leluhur, disebut juga asta, yang oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan nama Bujuk Gubang. Dalam setahun dilakukan tiga kali berturut-turut dengan rentang waktu satu bulan berselang. Pada Nyadar ketiga biasa mereka sebut dengan Nyadar Bengko.
Upacara nyadar ini bertujuan untuk memohon kemurahan dan kesejahteraan kepada Sang Pencipta. Selain itu untuk mengenang kembali jasa-jasa Ki Anggosuto. Karena berkat beliaulah masyarakat Pinggir Papas dan Kebun Dadap dapat mempelajari tata cara membuat garam, yang sampai saat ini menjadi mata pencaharian mereka.
Dari dulu hingga sekarang pelaksanaan upacara nyadar selalu dilaksanakan pada hari jumat (hari pertama) dan sabtu (hari kedua), dikarenakan masyarakat Pinggir Papas dan Kebun Dadap mempercayai bahwa hari jumat adalah hari yang paling baik. Penentuan tanggal pelaksanaan menjadi tanggung jawab penghulu. Penghulu akan melapor kepada ketua adat dan keputusan disahkan dalam upacara perembukan (musyawarah). Upacara adat dipimpin oleh empat orang berdasarkan asal muasal leluhurnya. Para pemimpin itu dibantu oleh seorang penghulu yang dilantik pada saat dilaksanakan upacara nyadar. Mereka juga dibantu oleh juru do’a. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan upacara nyadar yang diadakan di desa Kebun Dadap. Persyaratan tersebut ada hubungannya dengan peringatan Maulid Nabi, diantaranya:
- Pelaksanaan upacara tidak diperkenankan diadakan sebelum tanggal 12 Maulid
- Selamatan yang diadakan tidak boleh melebihi besarnya selamatan yang diadakan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
- Peserta upacara nyadar terlebih dahulu diwajibkan merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW
Dari syarat tersebut selain mengindikasikan bahwa Nyadar tumbuh dan berkembang setelah Islam masuk, juga mengimplikasikan bahwa penghormatan terhadap leluhur mereka tidak boleh melebihi penghormatan terhadap Rasulallah.
Sejarah Upacara Nyadar
Nyadar merupakan salah satu bentuk penghargaan warga pinggir papas tertahap leluhur mereka yang bernama Pangeran Anggasuto yang banyak berjasa memberikan pengetahuan mengenai teknik pembuatan garam. Dalam catatan sejarah Sumenep, Anggasuto dikenal sebagai pahlawan yang berjasa menyelamatkan orang-orang tentara Bali yang terdesak ketika kalah perang melawan pasukan Kraton Sumenep. Dalam peristiwa tersebut pangeran Anggasuto memberikan jaminan kepada Raja Sumenep, bahwa sisa tentara Bali yang ada di Pinggir Papas menjadi tanggung jawabnya. Jaminan yang diberikan pangeran Anggasuto dapat diterima oleh Raja Sumenep sehingga kemudian orang-orang yang kalah perang tersebut menjadi cikal bakal penghuni daerah Pinggir Papas.
Untuk mengingat jasanya sampai saat ini pemakaman pangeran Anggasuto menjadi tempat pelaksanaan ritual upacara Nyadar. Pelaksanaan nyadar didasarkan pada perhitungan pergeseran bintang antara tanggal 21 Maret dan 21 Juni setiap matahari bergeser pada equator menuju garis balik utara (23,5° LU). Pada posisi itu Bintang Karteka (Kartika) dan Bintang Nanggele (bintang bajak) muncul dari arah timur.
Persiapan Upacara Nyadar
Sebelum upacara nyadar berlangsung pada hari sebelumnya para sesepuh desa akan berkumpul untuk membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara nyadar, terutama mempersiapkan benda-benda pusaka yang akan digunakan pada saat upacara nyadar. Benda-benda pusaka ini dikeluarkan hanya ketika perayaan upacara nyadar. Sebelum dipakai benda-benda tersebut dibersihkan dan dibuatkan sesajen. Bahkan, beberapa sesepuh melakukan puasa agar upacara berjalan dengan lancar. Benda-benda pusaka itu antara lain berupa tombak dan keris. Beberapa hari sebelum pelaksanaan upacara nyadar disiapkan pula piring keramik besar yang disebut panjang. Piring ini digunakan sebagai wadah makanan.
Persiapan Upacara Nyadar
Bahan-bahan yang digunakan dalam rangkaian upacara nyadar itu sendiri terdapat dua perbedaan antara prosesi upacara nyadar yang pertama dan kedua kemudian yang ketiga. Untuk upacara nyadar yang pertama dan kedua bahan-bahan yang digunakan biasanya adalah bunga dan bedak serta kemenyan ditambah nasi dan lauk ayam, telur, serta bandeng. Pada nyadar ketiga benda-benda dan alat-alat upacara lebih kompleks lagi. Ada yang disebut panjang, yaitu piring keramik asing yang dipergunakan sebagai wadah makanan yang harus diletakkan di atas panjang, yaitu nasi, telur, dan bandeng. Piring keramik yang disebut panjang merupakan piring yang diwariskan secara turun-temurun. Piring ini dianggap sakral oleh setiap anggota keluarga dan tabu dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, kecuali untuk upacara nyadar. Mereka percaya bahwa anggota keluarga yang berani mengeluarkan panjang atau menjualnya akan mendapat celaka.
Benda upacara lain yang tidak kalah pentingnya adalah naskah-naskah kuno. Naskah-naskah ini mereka katakan sebagai naskah sakral yang usianya sudah ratusan tahun. Naskah kuno ini pun hanya dikeluarkan satu tahun sekali, yaitu pada saat upacara pembacaan naskah dalam upacara nyadar ketiga. Pembacaan naskah secara rutin dilakukan di bekas kediaman leluhur mereka. Naskah-naskah tersebut adalah naskah sampurna sembah dan naskah jatiswara. Pada saat upacara, hanya bagian-bagian tertentu saja yang dibacakan, yaitu yang isinya berupa ajaran-ajaran Islam sehingga dapat dijadikan panutan dalam hidup sehari-hari.
Benda-benda lain yang digunakan adalah tombak dan keris. Benda ini merupakan pelengkap sarana upacara dan hanya dikeluarkan pada saat upacara nyadar ketiga. Menurut mereka, benda-benda ini mempunyai kekuatan gaib dan harus diperlakukan secara hati-hati. Keris dan tombak merupakan senjata yang mereka peroleh dari leluhur. Mereka hormat terhadap benda-benda tersebut, sehingga hanya sesepuh yang disebut rama yang boleh membawa dan mengeluarkan benda-benda ini dari tempat penyimpanan. Benda-benda ini juga disimpan di rumah bekas kediaman leluhur. Selain keris dan tombak, benda lain yang digunakan adalah bokor, pakinangan, dan kendi sebagai tempat air suci.
Pembacaan Doa Pada Upacara Nyadar
Pada upacara nyadar ketiga, seorang dukun (pembaca doa) mengenakan pakaian khusus yang hanya dikenakan setahun sekali. Pakaian khusus ini disebut racuk sewu. Wujud pakaian adalah berlengan pendek dan divariasi dengan tembelan beberapa warna merah, coklat dan bintik-bintik merah, hitam, dan krem. Baju ini dilengkapi dengan blangkon atau tutup kepala dan sarung. Racuk sewu disimpan di rumah bekas kediaman leluhur dan hanya dikeluarkan pada saat upacara nyadar. Setelah upacara selesai pakaian racuk sewu tersebut disimpan kembali.
Prosesi Upacara Nyadar
Upacara nyadar dilaksanakan dalam tiga periode. Pelaksanaan nyadar periode pertama yaitu saat para petani garam mulai menggarap lahan garam hingga menjadi garam. Periode kedua yaitu saat dimulainya para petani garam memanen garamnya, dan pelaksanaan nyadar yang ketiga adalah saat garam yang dibuat sudah sampai di masing-masing rumah para petani garam. Oleh karena itulah upacara nyadar yang ketiga ini diberi nama ”nyadar bengkoan” (dalam bahasa Madura) yang artinya upacara nyadar yang dilakukan di rumah saja.
Warga yang Mengikuti Upacara Nyadar
Upacara Nyadar Pertama
Setelah semua bahan-bahan pelengkap upacara disiapkan maka rangkaian upacara nyadar pun dimulai. Secara singkat untuk upacara nyadar yang pertama dan kedua dapat digambarkan sebagai berikut: upacara ini biasanya akan dilaksanakan pada sore hari sekitar pukul empat sore dan semua elemen masyarakat berduyun-duyun menuju makam di mana leluhur mereka dikuburkan dengan membawa semua alat dan bahan upacara. Sesampainya di makam leluhur tersebut maka para pemuka adat utama pun yang berjumlah sekitar 40 orang dengan mengenakan pakaian adat berupa jubah hitam menyimbolkan keheningan atau kesedihan, melakukan upacara tabur bunga di makam leluhur tersebut. Setelah acara tabur bunga selesai kemudian prosesi selanjutnya adalah pembacaan doa yang dipimpin oleh pemuka adat utama yang biasanya berpakaian jubah putih yang melambangkan kesucian. Setelah pembacaan yang dilakukan oleh pemuka adat utama ini selesai barulah kemudian semua warga dipersilahkan untuk ikut menabur bunga dan membaca doa di makam leluhur mereka itu.
Pelaksanaan Upacara Nyadar
Sampai di sini upacara nyadar belumlah selesai. Upacara nyadar akan disambung kembali keesokan harinya dan pada malam itu semua peserta upacara diwajibkan untuk menginap di sekitar makam baik dengan mendirikan tenda-tenda maupun menginap di rumah warga yang berada di sekitar makam. Pada malam harinya mereka yang pada malam sebelumnya menginap di sekitar area makam memasak berbagai jenis makanan yang dibutuhkan untuk upacara selamatan esok harinya. Makanan yang dimasak untuk keperluan upacara itu biasanya adalah nasi, lauk ayam, telur, dan bandeng. Setelah selesai upacara, sisa makanan dibawa pulang dan dibagikan kepada tetangga yang tidak mampu atau tidak hadir saat upacara.
Upacara Nyadar Kedua
Upacara nyadar kedua yang biasanya jatuh pada sekitar bulan Agustus pada prinsipnya sama saja dengan prosesi yang dilakukan ketika upacara nyadar pertama, begitu pula dengan prosesi dan bahan yang digunakan saat upacara. Yang membedakan keduanya hanyalah pada bulan pelaksanaan dan momennya saja yakni untuk nyadar pertama dilaksanakan ketika menjelang panen garam dan yang kedua dilaksanakan ketika panen garam masih berlangsung. Selebihnya sama saja dengan nyadar yang pertama.
Upacara Nyadar Ketiga
Upacara nyadar ketiga dilaksanakan sekitar bulan September. Upacara dilaksanakan di bekas kediaman Syekh Anggasuto. Alasan dilaksanakan di tempat tersebut adalah sebagai upacara sekaran di bekas kediaman leluhur. Upacara ini dimulai dengan pembacaan doa oleh ketua adat dan diamini oleh peserta upacara. Setelah itu, dilanjutkan pembacaan naskah Jati Swara dan Sampurna Sembah. Kedua naskah tersebut dituliskan di atas daun lontar yang terus dipelihara hingga saat ini. Keesokan harinya dilakukan upacara selamatan yang disebut upacara rasulan. Pada kesempatan ini para peserta upacara membawa makanan yang diletakkan di atas piring keramik (panjang). Pada makanan dibacakan doa kemudian dimakan bersama-sama di tempat upacara. Pada umumnya peserta upacara hanya memakan sedikit dan sisanya dibawa pulang. Makanan yang tersisa dibagikan kepada para tetangga yang tidak mampu dan anggota keluarga yang tidak hadir pada saat upacara. Tujuannya agar mendapat berkah dari upacara tersebut. Instrumen pada upacara nyadar ketiga, yaitu nasi, telur, dan bandeng. Semua itu diletakkan di atas panjang (piring keramik asing). Simbol dari nasi, telur, dan bandeng sama dengan upacara nyadar pertama dan kedua. Piring keramik ini sebagai simbol tempat menyimpan rezeki. Piring keramik (panjang) dikeluarkan pada upacara ketiga karena sebagai simbol menyimpan rezeki dan diharapkan hasil panen terakhir bisa ditabung, sedangkan pada panen pertama dan kedua hasilnya digunakan untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Naskah-naskah kuno yang dibacakan adalah naskah Sampurna Sembah dan Jatiswara dan hanya bagian-bagian tertentu saja yang dibacakan, yaitu yang isinya berupa ajaran-ajaran Islam sehingga dapat dijadikan panutan dalam hidup sehari-hari. Tombak dan keris, benda-benda ini, mempunyai kekuatan gaib dan harus diperlakukan secara hati-hati. Keris dan tombak merupakan senjata yang mereka peroleh dari leluhurnya. Keris dan tombak sebagai simbol kekuatan supaya terhindar dari gangguan para lelembut.
Dalam upacara nyadar ketiga, pembaca doa mengenakan pakaian khusus yang disebut racuk sewu. Wujudnya berlengan pendek dan divariasi dengan tembelan beberapa warna merah, coklat, dan bintik-bintik merah, hitam, dan krem. Pakaian ini menunjukkan bahwa orang Madura senang dengan warna-warna. Warna-warna tersebut mempunyai simbol tersendiri. Warna merah sebagai simbol matahari yang menunjukkan adanya kehidupan. Warna coklat sebagai simbol tanah yang kita pijak. Warna hitam sebagai simbol musim penghujan. Secara logika warna hitam merupakan warna yang gelap sesuai dengan saat cuaca mendung. Warna krem sebagai simbol musim kemarau. Secara logika warna krem merupakan warna yang terang, dalam hal ini sama dengan keadaan alam pada saat musim kemarau. Bintik-bintik merah sebagai simbol musim pancaroba yaitu pergantian musim hujan dan kemarau. Secara logika warna bintik-bintik merah yang didasari warna hitam menunjukkan bahwa warna matahari merah dan warna langit mendung hitam.
Sumber:
- Merry, 2010.
- Wikipedia, 2012.
- Cerita Pulau Madura, 2011.
- Budaya Nusantara, 2012.
- Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sumenep.
Sumenep The Heart of Madura: Pesona Wisata Kabupaten Sumenep.
Kabupaten Sumenep. Diambil 26 November 2012.