Lamin
Kategori: Tradisi, Arsitektur, Religi, Sosial
Daftar Isi: Pemilihan Lokasi l Komponen l Fungsi Sosial
Rumah lamin merupakan hunian adat Masyarakat Dayak, khususnya yang berada di Kalimantan Timur. Kata Rumah Lamin memiliki arti rumah panjang, yang diasumsikan dengan milik kita semua, sebab rumah ini digunakan untuk beberapa keluarga yang tergabung dalam satu keluarga besar, bisa digunakan untuk 25 sampai 30 keluarga sekaligus, bahkan dapat mencapai 60 keluarga. Bentuk arsitektur rumah lamin antara suku yang satu dengan yang lain memiliki kemiripan. Perbedaan hanya terdapat pada penamaan komponen bangunan dan motif ornamennya. Namun diantara semua suku, Suku Dayak Kenyah memiliki ciri yang paling khas, yakni ornamen yang lebih meriah dengan hiasan seni ukir dan lukisan yang bermotif lebih khas dan dinamis.
Satu hal yang menarik, bahwa kepercayaan pada alam gaib sangat mempengaruhi proses pembangunan rumah adat. Nilai spiritual yang dijunjung tinggi tersebut membentuk suatu ikatan kultural yang kuat antara manusia dan alam. Terdapat dua roh nenek moyang yang dipercaya mempunyai kekuatan besar dan berperan sebagai pengatur seluruh kehidupan. Roh nenek moyang tersebut dinamakan Jalong Nyelong (roh lelaki yang menciptakan manusia) dan Bungan Malan (roh wanita yang mengatur seluruh kehidupan manusia). Dalam kehidupan sehari-hari, kekuatan kedua roh nenek moyang itu menjelma dalam bentuk binatang seperti kijang, musang, ular dan beberapa jenis burung. Simbol ini merupakan pertanda untuk kebaikan yang bisa menyebabkan masyarakat hidup makmur atau celaka. Maka dalam pembuatan rumah adatpun, pertanda dari roh nenek moyang tersebut juga memegang peranan penting.
Pemilihan Lokasi
Proses pembangunan lamin harus memperhatikan segala aspek. Sejumlah pertimbangan yang dipilih untuk mencari lokasi pendirian rumah lamin menjadi hal penting, sebab lokasi yang strategis akan memberi keberuntungan dan kebahagiaan bagi warga yang bermukim di dalamnya. Sebelum pembuatan lamin dimulai, terlebih dahulu kepala kampung, kepala adat dan para orang tua memilih dua orang warga untuk mencari lahan tempat didirikannya lamin yang disebut lasan palaki (lapangan elang), yang mengandung makna apakah daerah tersebut akan mendatangkan kebaikan atau celaka. Syarat utama yang dipilih yaitu sebidang tanah yang subur, kering dan menghadap ke sungai, baik sungai besar ataupun kecil. Selalu diutamakan menghadap ke sungai, karena terdapat suatu kepercayaan bahwa jika meninggal dunia, jiwa dan raganya akan pergi ke suatu tempat yang sempurna, yang biasanya dilihat dalam impian. Tempat tersebut disebut Alam Malao, yang diartikan sebagai sungai yang indah dan makmur, atau semacam surga bagi orang beragama.
Untuk menentukan lahan yang tepat, dua orang yang telah ditugaskan tersebut menunggu pertanda dari roh nenek moyang. Selama masa tersebut, dua orang terpilih ini harus menjalani sejumlah pantangan, yaitu berpuasa dengan tidak memakan apapun kecuali nasi, tidak berkumpul dengan istri, tidak bepergian jauh, tidak boleh mengenakan pakaian berwarna dan rambut digundul. Pada hari pertama, utusan tersebut akan pergi ke sebuah daerah atau lapangan dengan membawa sesaji kepada para roh nenek moyang berupa beberapa ekor ayam yang sudah dipotong dan telur ayam mentah. Hal ini dilakukan agar mendapat restu dari roh nenek moyang. Kemudian mereka berjalan terus selama beberapa hari hingga mendapatkan pertanda melalui perantara burung elang. Pertanda baik akan didapatkan jika dijumpai burung elang yang datang tepat diatas sebidang lahan, berputar di udara sebanyak delapan kali dan meninggalkan tempat tersebut menuju ke suatu arah dengan tidak berbelok. Lahan tersebut lah yang kemudian ditetapkan sebagai lasan palaki. Setelah lasan palaki ditemukan, barulah para utusan tersebut diperbolehkan pulang kampung dan mengabarkan kepada kepala adat, maka kepala adat akan mengumumkan kepada warga dan seluruh anggota masyarakat akan menyambut gembira kabar tersebut.
Sebelum memulai pembangunan lamin, terlebih dahulu diadakan sebuah upacara adat dengan sesaji berupa puluhan ternak seperti ayam, babi dan kerbau. Upacara tersebut dilanjutkan dengan acara pesta yang melibatkan seluruh warga, baik tua maupun muda. Setelah upacara adat dan pesta selesai diadakan, barulah pembangunan lamin dapat dimulai.
Seperti diketahui, jiwa dan semangat gotong royong sudah menjadi tradisi yang mendarah daging. Oleh sebab itu, pencarian bahan-bahan untuk mendirikan lamin pun dilakukan secara suka rela, begitu juga pada proses pembangunannya.
Rumah lamin untuk para bangsawan berbeda dengan masyarakat biasa. Rumah lamin bangsawan dibangun dengan bahan-bahan yang lebih bagus, dinding berbahan papan. Sedangkan rumah lamin masyarakat biasa, dinding bagian luar terbuat dari kayu.
Komponen Lamin
Tiang bawah
Sukaq adalah tiang bawah (tiang utama) yang berfungsi sebagai pondasi bangunan lamin. Sukaq dibuat dari kayu ulin (kayu besi) berdiameter ½ - 1 m dan panjang 6 m, dipancang ditanah dengan kedalaman 2 m dan berjarak 4 m antar tiang satu dengan tiang yang lain.
Tangga
Lamin mempunyai beberapa buah can (tangga) yang dibuat dari batang pohon berdiameter 30 - 40 cm. Tangga ini bisa dibalik atau kalau perlu dinaikkan dan diturunkan.
Lantai
Asoq (lantai lamin) terdiri dari tiga bagian, yaitu usoq (serambi), bilik (kamar tidur) dan jayung (dapur). Asoq tersusun atas 4 lapisan, yaitu merurat (gelagar pertama), matuukng (gelagar kedua), lala (lantai bagian bawah) dan diatas lala dipasang lantai yang sebenarnya. Asoq terbuat dari jejeran kayu meranti yang di buat papan dengan ukuran 1x10 m.
Dinding dan Tiang Atas
Dinding lamin terbuat dari jejeran papan berbahan kayu meranti. Dinding inilah yang akan membentuk peruntukan ruang pada lamin. Dinding bagian luar dilapisi dengan ornamen-ornamen ukiran khas suku Dayak. Sedangkan tiang atas dibuat dari batang pohon belengkanai berdiameter 0,5 m. Fungsi utama tiang-tiang atas adalah untuk menyangga atap pada bagian usoq (serambi) karena tidak berdinding. Tiang-tiang atas juga berfungsi sebagai hiasan karena dipahat menjadi patung-patung dengan berbagai bentuk, pada umumnya berbentuk wajah manusia dan binatang.
Atap
Kepang (Atap), terbuat dari jejeran kepingan kayu keras berukuran 70 x 40 cm. Setiap lembaran kayu tersebut diberi lubang sebagai tempat pengikat, kemudian disusun dengan teratur, sehingga bagian tepi lembar yang satu menutupi tepi lembar yang lainnya. Bagian puncak atap ditutup dengan kulit kayu keras yang diikat sedemikian rupa sehingga cukup kuat untuk menahan terpaan angin. Pada bagian ujung-ujung atap dipasang hiasan berupa kayu les yang sudah diukir dan mencuat hingga 2 m. Ukiran tersebut bermotif kepala naga sebagai simbol keagungan, budi luhur, dan kepahlawanan.
Ukuran sebuah lamin bervariasi menyesuaikan kebutuhan. Panjangnya berkisar antara 100 - 200 m dan lebarnya antara 20 – 25 meter, serta dapat menampung 60 keluarga. Secara umum pembagian ruang pada lamin adalah sebagai berikut :
Rumah Lamin dihiasi dengan ornamen dan dekorasi yang memiliki makna filosofis khas adat Masyarakat Dayak. Ornamen yang khusus dari rumah lamin milik bangsawan adalah hiasan atapnya memiliki dimensi dengan ukuran mencapai 4 m dan terletak di bumbungan. Warna-warna yang digunakan untuk rumah lamin juga memiliki makna tersendiri. Warna kuning melambangkan kewibawaan, warna merah melambangkan keberanian, warna biru melambangkan loyalitas dan warna putih melambangkan kebersihan jiwa.
Fungsi Sosial Lamin
Karena begitu panjangnya rumah lamin, ketika berada di ujung sisi tertentu, maka manusia pada ujung sisi yang lain, hanya terlihat kecil. Selain untuk bermukim warga, dalam rumah yang panjang ini dapat menampung ribuan orang tamu.
Di rumah lamin ini pula sering diadakan upacara-upacara perkawinan, kelahiran, kematian, pesta sebelum menanam padi, pesta sesudah panen, dan lain-lain yang kesemuanya dilakukan secara gotong royong. Upacara-upacara adat tersebut biasanya dipimpin oleh Kepala Adat dan melibatkan seluruh warga.
Ciri utama rumah ini adalah berbentuk panggung dengan ketinggian kolong kurang kebih 2 m. Pada kolong biasanya digunakan untuk memelihara ternak. Usoq yang panjang dapat menampung ratusan tamu, ditempat inilah diadakan beberapa upacara atau ritual adat yang diselenggarakan secara gotong royong. Namun jika usoq sudah tidak mampu menampung, maka upacara tersebut diadakan di halaman/pekarangan. Halaman lamin yang luas juga menjadi tempat bermain anak-anak setiap hari. Selain itu, di pojok-pojok halaman menjadi tempat peletakan patung-patung persembahan nenek moyang berukuran besar berdiameter ½ - 1 m dan tingginya 3 - 4 m. Wajah-wajah patung tersebut bervariasi, diantaranya berupa sosok hantu-hantu yang mengerikan, sosok wajah wanita cantik, sosok manusia jadi-jadian dan lain-lain. Patung kayu yang terbesar dan tertinggi berada di tengah-tengah, bernama sambang lawing yang digunakan untuk mengikat binatang korban yang dipersembahkan dalam upacara adat. Halaman bagian samping sampai belakang lamin berfungsi sebagai kebun, dengan ditumbuhi bermacam-macam pohon sayur-sayuran dan buah-buahan.
Sumber :
- Taman Budaya Kalimantan Timur. (1976) Kumpulan Naskah Kesenian Tradisional Kaltim. Samarinda: Taman Budaya Kalimantan Timur.
- Dewan Adat Dayak Kalimantan Timur. (2011) Profil Dayak Kalimantan Timur: Profil Seni Budaya dan Adat Istiadat Dayak Kalimantan Timur. Samarinda: CV. Hagitadharma.