Macapat
Pada awalnya tembang atau nyanyian ini dipakai sebagai media untuk memuji Allah SWT sebelum dilaksanakan shalat wajib. Lambat laun tembang ini dipakai untuk mengajak masyarakat Madura mencintai ilmu pengetahuan dan membenahi kerusakan moral yang telah terjadi di Madura. Macapat atau juga sering disebut dengan macopat, merupakan kebudayaan madura yang dikategorikan dalam bentuk kesenian.
Pelantun Macapat dan Tokang Tegges
Kebudayaan macapat sudah ada sejak puluhan tahun yang silam, dan sampai sekarang juga masih ada dan berkembang. Kebudayaan macapat biasanya banyak ditemui di daerah pedesaan. Tembang yang ditulis dengan bahasa jawa ini dilantunkan dengan syair-syair tertentu, atau juga yang dikenal dengan istilah tembeng. Selain dibaca dengan syair-syair tertentu, biasanya ketika dibaca ada orang kedua yang mengartikan bacaan-bacaan tersebut atau menterjemahkan ke dalam bahasa dearah, dan orang tersebut biasanya disebut dengan “panegges atau tokang tegges“ . Selain panegges, yang tidak kalah menariknya biasanya dalam pembacaan macapat ini terkadang diiringi dengan alunan musik seruling.
Kolaborasi antara pembaca tembang, tokang tegges, dan suara seruling, menjadikan sebuah atraksi yang menarik. Macapat bukan hanya tembang-tembang tanpa makna. Dibalik keindahan syair yang dilantunkan, macapat juga berisi tentang cerita-cerita yang mengandung nilai-nilai luhur yang patut untuk diikuti. Pada umumnya bacaan macapat berupa hadist-hadist Nabi yang ditulis dalam bahasa jawa atau juga cerita-cerita masa lalu.
Macapat memiliki dua unsur penting, yakni seni sastra dan seni suara (vokal). Beberapa nama lagu macapat Madura antara lain, Artate, Kasmaran, Senom, Salanget dan Dhurma. Cara membawakannya menggunakan gaya tekanan bahasa mirip aksen seorang dalang dalam pertunjukan wayang. Ketika macapat dilantunkan, biasanya diiringi seruling, gambang, dan instrumen gamelan lain yang dibunyikan dengan samar atau lirih dengan tujuan suara pembawa lagu menjadi lebih dominan. Tidak jarang kegiatan macapat hanya diiringi seperangkat kecil gamelan: gambang atau seruling saja. Ciri khas yang paling menonjol adalah suara si penembang yang diembat-embat (vibrasi) berkepanjangan, seakan tak ada putusnya antara bagian lirik lagu yang satu dengan yang lainnya. Tembang tersebut menjadi terasa penuh dengan sentuhan kelembutan. Bang-tembangan macapat umumnya dengan pembacaan sebuah “kakawin” secara bersama-sama. Sedangkan kakawin biasanya dalam bahasa Jawa Kawi atau Madura klasik. Di sinilah peran panegges atau tokang tegges (juru makna) dimainkan. Perhelatan tersebut biasanya untuk mengiringi prosesi ritual-ritual tertentu, misalnya selamatan kandungan (pelet kandung), Rorokadan (rokat) seperti rokat bujuk dan pandhaba, potong gigi (mamapar), dan sunatan.
Pembacaan Macapat Pada Sebuah Hajatan
Dalam perjalanannya, sebagai bentuk upaya pelestarian budaya ini, di Desa-desa diadakan perkumpulan yang disebut dengan arisan, namun masyarakat lebih mengenal dengan sebutan “kompolan macapat”. Dalam kompolan ini selain ada pembacaan macapat juga ditarik uang, yang nominalnya tidak terlalu besar, sebab bagi mereka (masyarakat) substansinya adalah macapatnya bukan arisannya. Arisan hanya sebagai salah satu media untuk bisa melestarikan kebudayaan macapat tersebut. Selain ada kompolan macapat, macapat juga biasanya dibacakan dalam acara-acara tertentu di desa. Bagi sebagian masyarakat pedesaan, kebudayaan macapat adalah kebudayaan yang sangat penting. Bahkan dulu sampai ada desa dimana di desa tersebut macapat menjadi salah satu syarat orang untuk mendapatkan tunangan. Meski tidak ada kesepakatan secara ter tulis, namun dengan sendirinya itu sudah menjadi hukum adat di suatu desa.
Karakteristik Tembang Macapat Madura
Tembang Macapat Madura memiliki banyak persamaan dan kesamaan dengan tembang Macapat Jawa. Keduanya diikat oleh suatu aturan tembang, yaitu jumlah gatra (padde) dari masing-masing tembang berbeda, mengikuti aturan guru lagu dan guru wilangan yang sama. Adapun perbedaannya terletak pada syair yang dinyanyikan, pada tembang Macapat Jawa syair mengikuti aturan not balok atau angka, sedangkan di Madura lebih mengutamakan cengkok atau lagu.
Jenis tembang Macapat Madura dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu tembang raja, tembang tengahan dan tembang Macapat atau tembang kene’. Tembang Macapat atau tembang kene’ ada 11 tembang, yaitu: 1. Salanget (Kinanti), 2. Pucung, 3. Mejil (Medjil), 4. Maskumambang, 5. Durma, 6. Kasmaran (Asmaradana), 7. Pangkor, 8. Senom (Sinom), 9. Artate’ (Dandanggula), 10. Megattro (Megatruh), 11. Gambuh.
Contoh Tembang Macapat:
Kananthe
Petthedanna nyolbu’ mopos
Kembangga lebba’ nglenglengan
Ong-naong jang-bajanganna
Cellep perna anyennengngen
Addas parabas narabas
Katombar ombar epenggir.
Akar Macapat
Bagi masyarakat Madura yang memiliki diligensi eklektik dan animo yang kuat terhadap primordialitas budayanya, mereka tentu membantah terhadap persepsi orang luar (Jawa) yang beranggapan bahwa macapat Madura merupakan embrio dari budaya Jawa. Meski sedikit banyak terdapat pengaruh dari kebudayaan Jawa yang bersumber dari keraton, namun bukan berarti Madura tidak mempunyai akar budaya sendiri. Macapat Madura mempunyai ciri khas tersendiri. Munculnya anggapan bahwa macapat Madura merupakan imitasi kebudayaan Jawa yang lebih terkait persoalan transfer informasi yang terhambat.
Dinamika budaya macapat di Madura merupakan manifestasi defensif masyarakat terhadap kesenian yang diwariskan nenek moyangnya. Dalam perkembangannya, macapat tak lepas dari transisi ajaran Hindu di mana dalam perkembangan berikutnya filosofi Hindu menjadi bait-bait yang mengandung nilai filosofi Islami sebagai nilai inti (core value). Hal ini terkait peran para mubaligh di masa lampau yang menjadikan kesenian sebagai media dalam berdakwah.
Para mubaligh terdahulu menciptakan tembang-tembang kreatif dan inovatif yang berisi doktrin agama, puji-pujian kepada Allah, anjuran dan ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan. Menyeru pesan-pesan agama: moralitas, pencarian dan kontemplasi hakekat kebenaran dan pembentukan manusia yang berkepribadian dan berkebudayaan. Melalui tembang macapat tersebut, setiap manusia diketuk hatinya untuk lebih memahami dan mendalami makna hidup.
Sumber :