Keraton Sumenep
Lokasi : Kabupaten Sumenep
Kategori : Heritage
Daftar Isi : Kompleks Bangunan l Masa Pemerintahan l Museum Keraton
Keraton Sumenep dulunya adalah tempat kediaman resmi para Adipati/Raja-Raja selain sebagai tempat untuk menjalankan roda pemerintahan. Kerajaan Sumenep sendiri bisa dibilang sifatnya sebagai kerajaan kecil (setingkat Kadipaten) kala itu, sebab sebelum wilayah Sumenep dikusai VOC wilayah Sumenep sendiri masih harus membayar upeti kepada kerajaan-kerajaan besar (Singasari, Majapahit dan kasultanan Mataram).
Keraton Sumenep
Keraton Sumenep sejatinya banyak jumlahnya, selain sebagai kediaman resmi adipati/raja yang berkuasa saat itu, keraton juga difungsikan sebagai tempat untuk mengatur segala urusan pemerintahan kerajaan. Saat ini Bangunan Keraton yang masih tersisa dan utuh adalah bangunan Keraton yang dibangun oleh Gusti Raden Ayu Tirtonegoro R. Rasmana dan Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) beserta keturunannya yakni Panembahan Somala Asirudin Pakunataningrat dan Sri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I (Raden Ario Notonegoro). Sedangkan untuk bangunan keraton-keraton milik Adipati/Raja yang lainnya, seperti Keraton Pangeran Siding Puri di Parsanga, Karaton Tumenggung Kanduruan, Keraton Pangeran Lor dan Pangeran Wetan di Karangduak hanya tinggal sisa puing bangunannya saja yakni hanya berupa pintu gerbang dan umpak pondasi bangunan Keraton.
Istilah penyebutan Keraton apabila dikaitkan dengan sistem pemerintahan di Jawa saat itu, merasa kurang tepat karena keraton Sumenep memiliki strata tingkatan yang lebih kecil dari bangunan keraton yang ada di Jogjakarta dan Surakarta. Keraton Sumenep sebenarnya adalah bangunan kediaman keadipatian yang pola penataan bangunannya lebih sederhana dari pada keraton-keraton besar seperti Jogjakarta dan Surakarta. Namun perlu dimaklumi bahwa penggunaan penyebutan istilah keraton sudah berlangsung sejak dulu kala oleh masyarakat Madura, karena kondisi geografis Sumenep yang berada di daerah mancanegara (wilayah pesisir wetan) yang jauh dari Kerajaan Mataram. Begitu juga penyebutan Penguasa Kadipaten yang lebih familiar dikalangan masyarakatnya dengan sebutan "Rato/Raja"
Bangunan Kompleks Keraton terdiri dari banyak massa, tidak dibangun secara bersamaan namun di bangun dan diperluas secara bertahap oleh para keturunannya. Keraton Pajagalan atau lebih dikenal Keraton Songennep dibangun di atas tanah pribadi milik Panembahan Somala penguasa Sumenep XXXI. Dibangun Pada tahun 1781 dengan arsitek pembangunan Keraton oleh Lauw Piango salah seorang warga keturunan Tionghoa yang mengungsi akibat Huru Hara Tionghoa 1740 M di Semarang. Keraton Panembahan Somala dibangun di sebelah timur keraton milik Gusti Raden Ayu Tirtonegoro R. Rasmana dan Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) yang tak lain adalah orang tua beliau.
Kompleks Bangunan
Keraton Sumenep berdiri di atas tanah milik pribadi Pangeran Natakusuma I (Panembahan Somala) (sebelah timur keraton lama milik Ratu R. Ayu Rasmana Tirtanegara). Kompleks bangunan Keraton Sumenep lebih sederhana dari kompleks Keraton kerajaan Mataram, bangunannya hanya meliputi Gedong Negeri, Pengadilan Keraton, Paseban, dan beberapa bangunan Pribadi Keluarga Keraton.
Di depan keraton, ke arah selatan berdiri Pendapa Agung dan di depannya berdiri Gedong Negeri (sekarang Kantor Disbudparpora) yang didirikan oleh Pemerintahan Belanda. Konon, Pembangunan Gedong Negeri sendiri dimaksudkan untuk menyaingi kewibawaan keraton Sumenep dan juga untuk mengawasi segala gerak-gerik pemerintahan yang dijalankan oleh keluarga Keraton. Selain itu Gedong Negeri ini juga difungsikan sebagai kantor bendahara dan pembekalan Keraton yang dikelola oleh Patih yang dibantu oleh Wedana Keraton.
Labhang Mesem
Disebelah timur Gedong Negeri tersebut berdiri pintu masuk keraton Sumenep yaitu Labhang Mesem. Pintu gerbang ini sangat monumental, pada bangian atasnya terdapat sebuah loteng, digunakan untuk memantau segala aktifitas yang berlangsung dalam lingkungan keraton. Konon jalan masuk ke kompleks keraton ini ada lima pintu yang dulunya disebut ponconiti. Saat ini tinggal dua buah yang masih ada, kesemuanya berada pada bagian depan tapak menghadap ke selatan. Pintu yang sebelah barat merupakan jalan masuk yang amat sederhana. Di bagian pojok disebelah timur bagian selatan Labhang Mesem berdiri Taman Sare (tempat pemandian putera-puteri Adipati) dimana sekelilingnya dikelilingi tembok tembok yang cukup tinggi dan tertutup.
Kolam Pemandian Taman Sare
Taman Sare, Tempat Pemandian Putra dan Putri Adipati
Sedangkan di halaman belakang keraton sebelah timur berdiri dapur, sebelah barat berdiri sisir (tempat tidur para pembantu keraton, emban, dayang-dayang Puteri Adipati), di sebelah barat terdapat sumur. Di depan sumur agak ke arah barat berdiri Keraton Ratu R. Ayu Rasmana Tirtanegara, dan di depannya berdiri pendapa. Namun pada jaman pemerintahan Sultan Abdurahman Pakunataningrat pendapa tersebut dipindahkan ke Asta Tenggi dan disana didirikan Kantor Koneng.
Pembangunan Kantor Koneng (kantor kerajaan/adipati) semula mendapat tentangan keras oleh pemerintah Hindia Belanda karena hal tersebut bertentangan dengan peraturan pemerintah saat itu. Namun, untuk menghindari tuduhan tersebut maka Sultan beninisiatif untuk mengubah seluruh cat bangunan tembok berwarna kuning selaras dengan namanya yaitu "kantor koneng" (bahasa belanda :konenglijk=kantor raja/adipati). Pada Masa Pemerintahan Sultan Abdurrahman, kantor Koneng difungsikan sebagai tempat rapat-rapat rahasia para pejabat-pejabat tinggi Keraton. Di sebelah selatan Kantor Koneng, di pojok sebelah barat pintu masuk berdiri pendapa (paseban).
Pada mulanya antara keraton dengan pendopo letaknya terpisah. Namun, pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, kedua bangunan tersebut dijadikan satu deret. Dahulu, Paseban (pendopo ageng) difungsikan sebagai tempat sidang yang dipimpin langsung oleh sang Adipati dan dihadiri oleh seluruh pejabat tinggi karaton yang waktunya dilaksanakan pada hari-hari tertentu. Paseban sendiri diurus oleh mantri besar dan dibantu oleh kebayan.
Mandiyoso, ruang penghubung Karaton Dhalem dan Pendopo Agung
Di sebelah selatan Taman Sare berdiri Pendapa atau Paseban dan sekarang dijadikan toko souvenir. Di sebelah selatan keraton terbentang jalan menuju Masjid Jamik Sumenep (ke arah barat), sedangkan ke arah timur menuju jalan kalianget. Di sebelah timur keraton adalah perkampungan,dan di arah timur jalan adalah Kampong Patemon. Artinya tempat pertemuan aliran air taman keraton dan aliran-aliran air taman milik rakyat dan Taman Lake’ (tempat pemandian prajurit keraton). Dari jalan Dr. Sutomo ke arah timur terdapat jalan menurun, sebelum tikungan jalan berdiri pintu gerbang keluar atau Labang Galidigan. Di sebelah barat pintu keluar terdapat jalan menurun, bekas undakan tujuh.
Di sebelah selatan jalan undakan terdapat Sagaran atau laut kecil merupakan tempat bertamasya putera-puteri Adipati. Sekarang Sagaran tersebut ditempati perumahan rakyat dan lapangan tennis. Di sebelah barat lapangan tennis, berdiri kamarrata merupakan tempat kereta kencana, dan dibelakangnya berdiri kandang kuda lengkap dengan dua taman.
Komplek Keraton Sumenep justru tidak menghadap ke barat tetapi ke selatan. Hal ini berhubungan dengan legenda laut selatan (selat Madura) tempat bersemayamnya Raden Segoro dan analog dengan legenda di Mataram tentang Nyai Roro Kidul yang konon istri dari Sultan Agung yang bersemayam/bertahta di Segoro Kidul (Lautan Indonesia). Dari legenda tersebut menimbulkan dogma turun temurun bahwa rumah tinggal yang baik harus menghadap ke selatan. Ditinjau dari tapak (site planning) terlihat bahwa kompleks bangunan keraton pada prinsipnya menganut keseimbangan simetri dengan menggunakan as/sumbu yang cukup kuat. Hal ini merupakan usaha perencanaannya untuk memberikan kesan agung dan berwibawa dari kompleks ini.
Masa Pemerintahan
Sejarah Sumenep jaman dahulu diperintah oleh seorang Raja. Ada 35 Raja yang telah memimpin kerajaan Sumenep. Namun pada masa sekarang ini Sumenep telah dipimpin oleh seorang Bupati. Ada 14 Bupati yang memerintah Kabupaten Sumenep. Mengingat sangat minimnya informasi/data yang otentik seperti prasati, pararaton, dan sebagainya mengenai Raja Sumenep maka tidak seluruh Raja-Raja tersebut dapat terekspose satu persatu, kecuali hanya Raja-Raja yang menonjol saja popularitasnya.
ARYA WIRARAJA
Arya Wiraraja dilantik sebagai Adipati pertama Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269, yang sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep. Selama dipimpin oleh Arya Wiraraja, banyak kemajuan yang dialami kerajaan Sumenep. Pria yang berasal dari desa Nangka Jawa Timur ini memiliki pribadi dan kecakapan/kemampuan yang baik. Arya Wiraraja secara umum dikenal sebagai seorang pakar dalam ilmu penasehat/pengatur strategi, analisanya cukup tajam dan terarah sehingga banyak yang mengira Arya Wiraraja adalah seorang dukun. Adapun jasa-jasa Arya Wiraraja :
- Mendirikan Majapahit bersama dengan Raden Wijaya.
- Menghancurkan tentara Cina/tartar serta mengusirnya dari tanah Jawa.
Dalam usia 35 Tahun, karier Arya Wiraraja cepat menanjak. Mulai jabatan Demang Kerajaan Singosari kemudian dipromosikan oleh Kartanegara Raja Singosari menjadi Adipati Kerajaan Sumenep, kemudian dipromosikan oleh Raden Wijaya menjadi Rakyan Menteri di Kerajaan Majapahit dan bertugas di Lumajang. Setelah Arya Wiraraja meninggalkan Sumenep, kerajaan di ujung timur Madura itu mengalami kemunduran. kekuasaan diserahkan kepada saudaranya Arya Bangah dan keratonnya pindah dari Batuputih ke Banasare di wilayah Sumenep juga. Selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama Arya Danurwendo, yang keratonnya pindah ke Desa Tanjung. Dan selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama Arya Asparati. Diganti pula oleh anaknya bernama Panembahan Djoharsari. Selanjutnya kekuasaan dipindahkan kepada anaknya bernama Panembahan Mandaraja, yang mempunyai 2 anak bernama Pangeran Bukabu yang kemudian menganti ayahnya dan pindah ke Keratonnya di Bukabu (Kecamatan Ambunten). Selanjutnya diganti oleh adiknya bernama Pangeran Baragung yang kemudian pindah ke Desa Baragung (Kecamatan Guluk-guluk).
PANGERAN JOKOTOLE (Pangeran Secodiningrat III)
Pangeran Jokotole menjadi raja Sumenep yang ke 13 selama 45 tahun (1415-1460). Jokotole dan adiknya bernama Jokowedi lahir dari Raden Ayu Potre Koneng, cicit dari Pangeran Bukabu sebagai hasil dari perkawinan bathin (melalui mimpi) dengan Adipoday (Raja Sumenep ke 12). Karena hasil dari perkawinan Bathin itulah, maka banyak orang yang tidak percaya. Dan akhirnya, seolah-olah terkesan sebagai kehamilan diluar nikah. Akhirnya menimbulkan kemarahan kedua orang tuanya, sampai akan dihukum mati. Sejak kehamilannya, banyak terjadi hal-hal yang aneh dan diluar dugaan. Karena takut kepada orang tuanya maka kelahiran bayi RA Potre Koneng langsung diletakkan di hutan oleh dayangya. Dan, ditemukan oleh Empu Kelleng yang kemudian disusui oleh kerbau miliknya.
Peristiwa kelahiran Jokotole, terulang lagi oleh adiknya yaitu Jokowedi. Kesaktian Jokotole mulai terlihat pada usia 6 tahun lebih, seperti membuat alat-alat perkakas dengan tanpa bantuan dari alat apapun hanya dari badanya sendiri, yang hasilnya lebih bagus ketimbang ayah angkatnya sendiri. Lewat kesaktiannya itulah maka ia membantu para pekerja pandai besi yang kelelahan dan sakit akibat kepanasan termasuk ayah angkatnya dalam pengelasan membuat pintu gerbang raksasa atas pehendak Brawijaya VII. Dengan cara membakar dirinya dan kemudian menjadi arang itulah kemudian lewat pusarnya keluar cairan putih. Cairan putih tersebut untuk keperluan pengelasan pintu raksasa. Dan, akhirnya ia diberi hadiah emas dan uang logam seberat badannya. Akhirnya ia mengabdi di kerajaan Majapahit untuk beberapa lama.
Banyak kesuksessan yang ia raih selama mengadi di kerajaan Majapahit tersebut yang sekaligus menjadi mantu dari Patih Muda Majapahit. Setibanya dari Sumenep ia bersama istrinya bernama Dewi Ratnadi bersua ke Keraton yang akhirnya bertemu dengan ibunya RA Potre Koneng dan kemudian dilantik menjadi Raja Sumenep dengan Gelar Pangeran Secodiningrat III. Saat menjadi raja ia terlibat pertempuran besar melawan raja dari Bali yaitu Dampo Awang, yang akhirnya dimenangkan oleh Raja Jokotole dengan kesaktiannya menghancurkan kesaktiannya Dampo Awang. Dan kemudian kekuasaannya berakhir pada tahun 1460 dan kemudian digantikan oleh Arya Wigananda putra pertama dari Jokotole.
RADEN AYU TIRTONEGORO DAN BINDARA SAOD
Raden Ayu Tirtonegoro merupakan satu-satunya pemimpin wanita dalam sejarah kerajaan Sumenep sebagai Kepala Pemerintahan yang ke 30. Menurut hikayat RA Tirtonegoro pada suatu malam bermimipi supaya Ratu kawin dengan Bindara Saod. Setelah Bindara Saod dipanggil, diceritakanlah mimpi itu. Setelah ada kata sepakat perkawinan dilaksanakan, Bindara Saodmenjadi suami Ratu dengan gelar Tumenggung Tirtonegoro.
Terjadi peristiwa tragis pama masa pemerintahan Ratu Tirtonegoro. Raden Purwonegoro Patih Kerajaan Sumenep waktu mencintai Ratu Tirtonegoro, sehingga sangat membenci Bindara Saod, bahkan merencanakan membunuhnya. Raden Purwonegoro datang ke keraton lalu mengayunkan pedang namun tidak mengenai sasaran dan pedang tertancap dalam ke tiang pendopo. Malah sebaliknya Raden Purwonegoro tewas di tangan Manteri Sawunggaling dan Kyai Sanggatarona. Seperti diketahui bahwa Ratu Tirtonegoro dan Purwonegoro sama-sama keturunan Tumenggung Yudonegoro Raja Sumenep ke 23. Akibatnya keluarga kerajaan Sumenep menjadi dua golongan yang berpihak pada Ratu Tirtonegoro diperbolehkan tetap tinggal di Sumenep dan diwajibkan merubah gelarnya dengan sebutan Kyai serta berjanji untuk tidak akan menentang Bindara Saod sampai tujuh turunan. Sedang golongan yang tidak setuju pada ketentuan tersebut dianjurkan meninggalkan kerajaan Sumenep dan kembali ke Pamekasan, Sampang atau Bangkalan.
PANEMBAHAN SOMALA
Bandara Saod dengan isterinya yang pertama di Batu Ampar mempunyai 2 orang anak. Pada saat kedua anak Bindara Saod itu datang ke keraton memenuhi panggilan Ratu Tirtonegoro, anak yang kedua yang bernama Somala terlebih dahulu dalam menyungkem kepada Ratu sedangkan kakaknya mendahulukan menyungkem kepada ayahnya (Bindara Saod). Saat itu pula keluar wasiat Sang Ratu yang dicatat oleh sektretaris kerajaan. Isi wasiat menyatakan bahwa di kelak kemudian hari apabila Bindara Saod meninggal maka yang diperkenankan untuk mengganti menjadi Raja Sumenep adalah Somala. Setelah Bindara Saod meninggal 8 hari kemudian Ratu Tirtonegoro ikut meninggal tahun 1762, sesuai dengan wasiat Ratu yang menjadi Raja Sumenep adalah Somala dengan gelar Panembahan Notokusumo I.
Beberapa peristiwa penting pada zaman pemerintahan Somala antara lain menyerang negeri Blambangan dan berhasil menang sehingga Blambangan dan Panarukan menjadi wilayah kekuasaan Panembangan Notokusumo I. Kemudian beliau membangun keraton Sumenep yang sekarang berfungsi sebagai Pendopo Kabupaten. Selanjutnya beliau membangun Masjid Jamik pada tahuhn 1763, Asta Tinggi (tempat pemakaman Raja-Raja Sumenep dan keluarganya) juga dibangun oleh beliau.
SULTAN ABDURRACHMAN PAKUNATANINGRAT
Sultan Abdurrachman Pakunataningrat bernama asli Notonegoro putra dari Raja Sumenep yaitu Panembahan Notokusumo I. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat mendapat gelar Doktor Kesusastraan dari pemerintah Inggris, karena beliau pernah membantu Letnan Gubernur Jendral Raffles untuk menterjemahkan tulisan-tulisan kuno di batu kedalam bahasa Melayu. Beliau memang meguasai berbagai bahasa, seperti bahasa Sansekerta, Bahasa Kawi, dan sebagainya. Dan, juga ilmu pengetahuan dan Agama. Disamping itu pandai membuat senjata Keris. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat dikenal sangat bijaksana dan memperhatikan rakyat Sumenep, oleh karena itu ia sangat disegani dan dijunjung tinggi oleh rakyat Sumenep sampai sekarang.
Museum Keraton
Lokasinya terletak di depan Keraton Sumenep. Museum ini menyimpan beragam peninggalan bersejarah dari Keraton Sumenep dimana sebagian besar merupakan peninggalan bangsawan Sumenep. Di museum ini terdapat beragam koleksi menarik mulai dari kereta keraton buatan abad ke-18, keramik dari Dinasti Ming, naskah kuno, peralatan pertanian dan nelayan kuno, prasasti, arca, hingga koleksi ragam senjata seperti: keris, tombak, pedang, meriam, ada juga alat rumah tangga kerajaan, serta peralatan pribadi anggota kerajaan. Museum terbagi menjadi tiga bagian yang terletak di depan/luar keraton dan di dalam keraton. Bagian pertama museum ini yaitu yang terdapat di luar keraton merupakan tempat menyimpan kereta kencana kerajaan Sumenep dan kereta kuda pemberian ratu Inggris. Kereta kerajaan tersebut sampai sekarang masih dipergunakan saat upacara peringatan hari jadi kota Sumenep.
Kereta Kerajaan
Kereta Kuda Pemberian Ratu Inggris
Selain itu juga terdapat papan nama yang memuat nama-nama Raja yang pernah memimpin di Sumenep.
Nama-Nama Raja Sumenep
Bagian kedua museum terdapat di dalam Keraton Sumenep. Dalam ruangan ini tersimpan alat-alat untuk upacara mitoni atau upacara tujuh bulan kehamilan keluarga raja. Ada juga senjata-senjata kuno berupa keris, clurit, pistol pedang, bahkan samurai dan baju besi. Beragam guci dan keramik dari Tiongkok menghiasi etalase museum seakan ingin menjelaskan eratnya jalinan hubungan antara kerajaan Sumenep dan kerajaan China.
Ragam Peninggalan Keraton Sumenep
Ada pula arca, baju kebesaran sultan dan putri Sumenep, serta kamar tidur raja Sumenep yang tidak boleh dimasuki oleh pengunjung. Tersimpan pula fosil ikan paus yang terdampar di Pantai Sumenep tahun 1977. Di museum ini terdapat Alquran yang ditulis oleh Sultan Abdurrachman.
Al Quran yang Ditulis Oleh Sultan Abdurrachman
Fosil Ikan Paus yang Terdampar di Pelabuhan Kalianget
Di dalam keraton juga terdapat piring ajaib yang dikenal dengan nama magic rower. Piring nasi tersebut diyakini memiliki kekuatan magis dimana nasi yang dihidangkan di atasnya tidak basi meskipun sudah satu minggu. Piring ini merupakan tempat nasi berbentuk oval dengan gambar Raja Sampang Condronegoro (1830) hadiah bagi raja Sumenep ke-32, Sultan Abdurrahman Pakunataningrat (1811-1854).
Bagian ketiga berada di dalam keraton yang disebut Museum Bindara Saod karena dahulu merupakan tempat Bindara Saod menyepi (Rumah penyepian Bindara Saod). Ruangan ini terdiri lima bagian yaitu teras rumah, kamar depan bagian timur, kamar depan bagian barat, kamar belakang bagian timur dan bagian barat. Baik Museum, Museum Kantor Koneng dan Museum Bindara Saod, ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara.
Di dalam keraton terdapat Pendopo Agung, Kantor Koneng, dan bekas Keraton Raden Ayu Tirto Negoro yang saat ini dijadikan tempat penyimpanan benda-benda kuno. Pendopo Agung sampai saat ini masih dipakai sebagai tempat diadakannya acara-acara kabupaten seperti penyambutan tamu, serah terima jabatan pemerintahan, dan acara kenegaraan lainnya. Sedangkan Kantor Koneng atau kantor raja adalah ruang kerja Sultan Abdurrachman Pakunataningrat I selama masa pemerintahannya tahun 1811 sampai 1844 Masehi.
Sumber :
- Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sumenep. Sumenep The Heart of Madura: Pesona Wisata Kabupaten Sumenep. Kabupaten Sumenep. Diambil 26 November 2012.
- Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sumenep. Sumenep The Heart of Madura: Museum Keraton Sumenep. Kabupaten Sumenep. Diambil 26 November 2012.
- Seminar Buku Penulisan Sejarah Sumenep. Pendopo Agung Sumenep. 2012. Tim Penulis Sejarah Sumenep. Kabupaten Sumenep: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep.
- Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, 2012.
- Pemerintah Kabupaten Sumenep, 2012.
- Wikipedia, 2012.